Jika dikatakan
rindu untuk merangkai kata, iya memang rindu. Tapi aku memang tak pandai
menyusun kata hingga menjadi bait-bait yang elok dipandang dan syahdu didengar.
Sebenarnya sering, pikiran ini ingin dituangkan dalam hitamnya di atas putih,
tapi sayang, belum sempat dan ilham sering tidak muncul.
Kali ini aku
ingin bercerita tentang secuil kehidupan yang aku jalani di Beijing, Cina. Yah,
tidak heran, hampir tidak ada masjid di setiap kota, jarang, sangat jarang. Ini
pikiran utama bagiku, ketika ingin bepergian. Tapi, mau-tidak-mau, memang harus
mencari cara. Tidak mungkin aku hanya di kamar melulu, karena takut tidak bisa
mengerjakan kewajiban yang sangat wajib itu. Akhirnya, ini menjadi solusi
terbaik yang aku lakukan selama berjalan menikmati kebudayaan Cina yang ada di
sekitaran Beijing.
Sembari berdo’a
dan berharap Allah memberi solusi yang terbarokah untukku untuk bisa tetap
menjalankan kewajiban itu, sembari berpikir dimana aku bisa melaksanakannya. Syukur beribu-ribu syukur, Allah selalu memudahkanku, memberiku celah tempat untukku
mengerjakan sholat. Hingga akhirnya, beberapa tempat yang aku kunjungi, pasti juga
menjadi tempat sholat bagiku. Yiheyuan, Tiantan, bahkan Changcheng, di sana aku
mengerjakan sholat. Bagaimana tidak, tidak ada musholah, tidak ada tempat untuk
sholat. Jadi tempat kosong yang sekiranya bisa aku manfaatkan, aku manfaatkan
untuk membuka lapak sholat. Dengan dikawal oleh teman-teman dekatku, yang
mereka juga mendukungku untuk tak usah malu dan tak usah takut.
Dari sini, aku
bisa lebih menghargai waktu sholat. Di Indonesia, masjid dimana-mana, musholah
dimana-mana, adzan berkumandang di segala penjuru. Sangat disayangkan, pada
orang yang tak bisa memanfaatkan semua itu. Jika sudah dalam kota atau bahkan
negara yang tak menyediakan tempat ibadah, pasti akan lebih mengerti betapa
indah dan nikmatnya tinggal di Indonesia, tempat yang kita tinggali selama ini.
Karena Allah
akan memberi kemudahan, bagi orang yang memang mengharapkan dan
mengusahakannya.
21
Desember 2017
Oxye Dara,
Beijing
Sayunya
mata yang sudah terlalu lelah
mengikuti
kaki yang tak henti memanjat
Komentar
BalasHapus